Buka bersama (Bukber) adalah tradisi tahunan di bulan suci Ramadan yang seakan menjadi hal wajib di berbagai kalangan. Mulai dari lingkungan keluarga, teman, komunitas, hingga tempat kerja. Namun, di balik euforia tersebut muncul pertanyaan, apakah bukber benar-benar menjadi ajang silaturahmi atau justru hanya sekadar formalitas demi eksistensi sosial?
Secara historis, kegiatan buka bersama memiliki akar dalam tradisi Islam yang menekankan kebersamaan dan kepedulian sosial. Dalam hadis riwayat At-Tirmizi, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa memberikan makanan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun.”
Dilansir dari laman rri.co.id, bukber bukan hanya soal mengisi perut setelah seharian berpuasa, tetapi juga menjadi momen untuk mempererat tali silaturahmi. Di tengah kesibukan sehari-hari, acara bukber menjadi ajang berkumpul dengan keluarga, sahabat, kolega, atau bahkan sesama Muslim yang mungkin sebelumnya tidak saling mengenal.
Di lingkup pertemanan maupun komunitas, bukber menjadi salah satu ajang reuni yang selalu ditunggu-tunggu. Orang-orang yang jarang bertemu akhirnya memiliki alasan untuk berkumpul dan berbagi cerita. Momen ini menjadi kesempatan untuk bernostalgia, berbagi pengalaman baru, bertukar kabar, serta membangun kembali hubungan yang sudah terputus.
Di lingkungan kerja, bukber menjadi fenomena yang menarik. Banyak perusahaan mengadakan bukber dengan tujuan mempererat silaturahmi antar karyawan, meningkatkan kebersamaan, dan menciptakan lingkungan kerja yang harmonis. Namun, tidak semua karyawan merasa nyaman dengan kegiatan ini. Bagi sebagian karyawan, bukber di tempat kerja hanyalah acara yang harus dihadiri demi menjaga profesionalitas. Ada pula yang merasa terbebani karena harus menghabiskan waktu di luar jam kerja, padahal mereka lebih nyaman berbuka bersama keluarga di rumah.
Namun, di sisi lain, bukber justru kehilangan esensi utamanya. Banyak orang lebih sibuk mengabadikan momen untuk ajang pamer di media sosial dibanding menikmati kebersamaan. Seolah-olah, esensi bukber bukan lagi soal kebersamaan, tetapi sekadar pembuktian eksistensi dalam lingkungannya. Kehadiran media sosial juga membuat makna bukber semakin bergeser. Mulai dari foto makanan yang diunggah di Instagram, video di TikTok, hingga status WhatsApp yang menampilkan suasana ramai.
Dalam artikel CakrawalaNews.co disebutkan bahwa di era modern ini, bukber tak jarang berubah menjadi ajang adu gengsi dan pamer harta benda. Pertanyaan seputar pekerjaan, gaji, hingga kepemilikan barang mewah menjadi topik utama, menggeser makna silaturahmi yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, apakah bukber menjadi ajang silaturahmi atau hanya sekadar gaya-gayaan bergantung pada niat masing-masing. Bukber yang dilakukan dengan niat tulus untuk bersilaturahmi akan menjadi tradisi yang baik dan bermakna. Sebaliknya, jika bukber hanya untuk pamer di media sosial, maka maknanya akan terasa hampa. (*)
Penulis :Nabilah Nur Azizah, Yunika Maritasari
Penyunting :Jhon