Sudah tidak terhitung berapa kali perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sejak pandemi, sudah berapa kali mengganti nama tanpa solusi yang menyelesaikan akar masalahnya. Sudah berapa banyak mereka yang terpapar dan akhirnya meninggalkan orang-orang yang mereka cintai untuk selama-lamanya.
Pandemi membuat mereka jengah akan hidup diambang kemiskinan yang tidak akan tahu kapan akan berakhir. Menurut Smeru Research Institute pada 15 Juli 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis laporan bahwa pada Maret 2021 sebesar 10,14% atau sebanyak 27,54 juta penduduk Indonesia berstatus miskin. Tingkat kemiskinan Maret 2021 ini sedikit turun dari September 2020 namun masih lebih tinggi dibandingkan kondisi sebelum pandemi pada September 2019.
Jika dilihat berdasarkan jumlah orang miskin, sejak September 2019 (kemiskinan terendah yang pernah dicapai Indonesia), jumlah orang miskin meningkat sebesar 1,12 juta individu dengan peningkatan terbesar terjadi di wilayah perkotaan sebesar 1 juta dan perdesaan sebesar 120 ribu orang.
Kemiskinan itu serupa dengan apa yang dialami banyak pemerintah di seluruh dunia: mengatasi pandemi dan menjaga kenormalan kehidupan (ekonomi) secara bersamaan. Sejauh ini tidak ada cara yang ampuh untuk ini semua.
Memilih mengabaikan pandemi, jelas sangat tidak etis. Tanpa dibicarakan sudah tahu. Korban berjatuhan. Virus bermutasi. Layanan kesehatan ambruk. Buktinya laporcovid.19.org mencatat per 19 September 2021, ada sekitar 2032 tenaga kesehatan yang gugur melawan pandemi ini. Jumlah yang tidak sedikit bukan?
Memilih kesehatan semata jelas bijak. Tetapi memunculkan karut-marut yang membuat dilematis. Kegiatan perekonomian praktis terhenti, setidaknya berkurang tajam, sehingga beban negara menjadi sangat berat. Memenuhi hajat hidup orang banyak menghadirkan kepusingan tersendiri. Hanya negara-negara kaya yang mungkin bisa bertahan untuk jangka panjang.
Dari semua polemik yang muncul, pemerintah di seluruh dunia sepertinya satu suara. Memang tidak ampuh, tetapi setidaknya ada bukti penurunan kasus dan membentuk herd imunity agar aktivitas dapat kembali seperti dulu. Vaksinasi.
Tetapi apakah vaksinasi jawaban dari persoalan agar mereka yang sudah kere sejak pandemi dapat bertahan di tengah wabah? Mungkin iya, tapi untuk sementara vaksinasi masih belum sepenuhnya memberi rasa aman dan nyaman. Belum sepenuhnya memberi rasa aman karena masih banyak orang yang sudah divaksinasi tetap tertular dan merenggut nyawa. Belum juga memberi rasa nyaman sepenuhnya karena setelah vaksin masyarakat belum dapat memulihkan perekonomiannya secara berdikari.
Memulihkan perekonomian salah satunya dengan bantuan pemerintah. Tetapi berharap pada bantuan sosial yang diberikan pemerintah sudah seperti laksana layang-layang putus teraju, para perampok tanpa moral bisa-bisanya terpikir untuk membuat mereka yang sudah susah tambah hancur, mengambil jatah yang akan membantu mereka hidup dari hari ke hari. Sudah jatuh tertimpa tangga Juliari saya rasa.
Ketidakpastian ini bukan hanya merenggut taraf hidup, melainkan perasaan trauma psikologis yang sulit diobati. Kecemasan akan hidupnya besok, rasa kesepian akibat isolasi mandiri, dan ketidakpastian berakhirnya ini semua. Bak mereka disuruh berjalan di lorong gelap tanpa ujung ditambah dengan mata tertutup.
Satu hal yang pasti. Pandemi memaksa mereka bertahan dalam kekalutan yang panjang- yang akhirnya melahirkan perasaan melankolia – luka-luka sayatan oleh kelakukan penanggung kebijakan membuat mereka menjadi bingung sendiri dan akan selalu bertanya. Kapan ini akan berakhir? Bagaimana hidup di tengah wabah yang tidak pasti ini?
Saya pikir, saya dan mereka akan merindukan masa-masa sebelum pandemi. Tidak perlu dibatasi mobilitasnya, boleh saling bersentuhan, tidak dipaksa sehat oleh pemerintah, tidak khawatir akan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal, dan beragam kerinduan sebelum pandemi saat ini.
Nostalgia-nostalgia ini yang akan selalu dirawat oleh saya dan mereka, yang akan selalu didambakan setiap harinya dengan penuh harapan bahwa semuanya akan berakhir. Saya dan mereka akan bertahan meski dirundung kemiskinan, kelaparan, sulit mencari pekerjaan, dan beragam perundungan lainnya oleh pandemi, tapi kembali lagi. Sampai kapan? Tetapi mengingat masa-masa sebelum pandemi dapat menjadi alasan bertahan di saat ini. Teringat orang Portugis punya adagium yang tepat menggambarkan perasaan nostalgia melankolia yang campur aduk ini: Saudade.(*)
Penulis: Andre Prasetyo Nugroho
penyunting: Novrianni
*Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Sejarah di Universitas Lampung. Selain belajar soal masa lalu, ia juga menekuni bidang jurnalisme.