Aksi Kamisan disertai penolakan terhadap pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentara Negara Indonesia (TNI) telah berlangsung sore tadi di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lampung Kamis, 20 Maret 2025. Kegiatan ini melibatkan berbagai elemen masyarakat termasuk mahasiswa dan akademisi yang mengkritisi proses serta substansi Undang-Undang (UU) yang dinilai tidak mempertimbangkan aspirasi rakyat.
Kristianus Bobii, Mahasiswa Universitas Lampung (Unila) dari Ikatan Mahasiswa Papua Lampung (IKMAPAL), menyampaikan keresahannya terkait pengesahan RUU TNI yang dianggap terburu-buru dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat. “Menurut kami, kebijakan yang diambil oleh DPR hari ini membuat kami merasa bahwa DPR sudah menjadi Dewan Perlawanan Rakyat. Kenapa? Karena kebijakan yang diambil dari DPR hari ini tidak mempertimbangkan aspirasi atau suara dari rakyat,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa pengesahan RUU TNI ini menambah trauma bagi masyarakat Papua. “Respon saya terhadap RUU TNI yang disahkan hari ini itu menjadi trauma masyarakat Papua. Karena perlawanan dari RUU TNI ini sudah berlangsung lama, semenjak tahun 1969 yang kita kenal dengan Penentuan Pendapat Rakyat (Papera) diikuti dengan masa Tri Komando Rakyat (Trikora),” ujarnya.
Rifandy Ritonga, akademisi dari Fakultas Hukum (FH) Universitas Bandar Lampung (UBL), juga menyuarakan pendapatnya mengenai RUU TNI yang baru disahkan. “Ini UU yang cacat, tentunya merugikan kita sebagai masyarakat sipil dan ini melanggar atau bahkan mengkhianati reformasi yang sudah kita lakukan,” ujarnya.
Menurut Rifandy, dampak dari pengesahan ini mungkin tidak akan langsung terasa, tetapi akan terjadi dikemudian hari. “Peran TNI ini bakal bisa merasuki ke manapun lini-lini, dan kita tahu sendiri pola pendekatan yang disampaikan oleh TNI ini berbeda dengan pola pendekatan masyarakat sipil. Sistem di TNI itu kan sistem komando, dan inilah yang dikhawatirkan akan terjadi,” jelasnya.
Kekhawatiran akan pola komando TNI yang berbeda dan potensi pelanggaran yang mungkin terjadi. Apakah tidak ada masyarakat sipil yang mampu untuk menduduki jabatan-jabatan publik seperti itu dan otomatis pola komando yang diciptakan versi tentara nantinya akan berbeda, disusul dengan kemungkinan pelanggaran-pelanggaran lainnya juga akan bisa terjadi.
Niko Armando, dari Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) Politeknik Negeri Lampung (Polinela) juga turut menyampaikan keresahannya terkait pengesahan RUU TNI. “Seperti yang kita ketahui pada beberapa hari yang lalu itu ada perencanaan-perencanaan UU TNI yang merubah beberapa pasal yang dapat mengancam hidup kita sebagai warga sipil,” ujarnya.
Niko mengkhawatirkan adanya perubahan struktural yang memungkinkan anggota TNI aktif ditempatkan di lembaga sipil. “Kita lihat mereka di situ dapat membentuk beberapa lembaga sipil itu disuruh oleh Pak Prabowo mengambil beberapa anggota TNI aktif untuk ditempatkan di ruang-ruang sipil. Di situ dapat kita ketahui kehidupan kita sekarang sebagai warga sipil terancam,” jelasnya.
Ia juga berharap agar seluruh elemen masyarakat terlibat dalam gerakan penolakan. “Harapannya kepada seluruh elemen masyarakat, mahasiswa, keluarga sipil untuk ikut serta dalam penolakan RUU TNI. Kita terus mengawal, kita bakal mengadakan demo besar-besaran dengan masa yang lebih banyak untuk mencabut RUU TNI ini,” tutupnya. (*)
Penulis : Adit Indra Lesmana, Andika Sandi Pranata
Penyunting : Nayla Putri