Gerakan Perempuan Lampung : Lawan Sistem yang Memiskinkan

Orator menyampaikan tuntutan di hadapan massa aksi International Women’s Day di Tugu Adipura, Bandar Lampung, 8 Maret 2025 | Perssukma.id/Ahmad Muhajir

Aksi dalam rangka memperingati International Women’s Day berlangsung di Tugu Adipura, Bandar Lampung, pada Sabtu, 8 Maret 2025. Kegiatan ini mengusung tema “#Indonesiagelap, Percepat Aksi Gerakan Perempuan Lawan Sistem yang Memiskinkan.”

Aksi ini diinisiasi oleh Solidaritas Perempuan (SP) Sebay Lampung bersama jaringan organisasi masyarakat sipil, dengan dukungan dari berbagai lembaga, seperti Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Lampung, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung, Federasi Serikat Buruh Karya Utama (FSBKU), Gaya Lentera Muda, Lamban Puan, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Lampung, Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID), Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Malahayati (Unmal), Moot Court Community (MCC) Universitas Islam Negeri (UIN), serta berbagai organisasi lainnya.

Koordinator Umum SP Sebay Lampung, Reni Yuliana Mutia, menyampaikan bahwa aksi ini bertujuan untuk menyuarakan ketertindasan, diskriminasi, serta ketidakadilan yang dialami perempuan akibat sistem budaya patriarki dan kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat. “Pada momentum ini, kita tidak hanya merayakan International Women’s Day, tetapi juga menyuarakan ketertindasan dan diskriminasi yang masih dialami perempuan. Stereotip yang muncul akibat sistem patriarki dan kebijakan yang tidak berpihak semakin menambah beban berlapis bagi perempuan,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa Indonesia, khususnya Provinsi Lampung, masih berada dalam keadaan darurat diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Oleh karena itu, menurutnya, penting bagi masyarakat untuk turun ke jalan dan menyuarakan situasi yang dialami perempuan.

Aksi ini diikuti oleh sekitar 128 orang dari berbagai organisasi. Sejumlah tuntutan yang disampaikan dalam aksi ini antara lain:

  1. Ratifkasi ILO 190 untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dan bebas dari pelecehan.
  2. Pengesahan RUU Pekerja Rumah Tangga.
  3. Pendidikan gratis, ilmiah, demokratis, serta kesehatan gratis.
  4. Pengesahan RUU Perampasan Aset.
  5. Evaluasi ulang program makan siang bergizi gratis.
  6. Jaminan kesetaraan relasi antara perempuan dan laki-laki dalam:
    • UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
    • UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
    • UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
  7. Hentikan represivitas dan kriminalisasi aparat terhadap rakyat.
  8. Tolak pembangunan dan proyek yang tidak melibatkan persetujuan perempuan.
  9. Cabut UU Cipta Kerja dan kebijakan lain yang semakin memiskinkan perempuan.
  10. Tolak mekanisasi pertanian, penyeragaman bibit, pupuk, dan pestisida yang menghilangkan pangan serta kearifan lokal perempuan.
  11. Wujudkan reforma agraria yang responsif gender.
  12. Wujudkan peradilan pidana yang adil bagi perempuan pekerja migran.
  13. Berikan mitigasi bencana yang efektif, aksi tanggap darurat yang cepat, perlindungan sosial yang memadai, serta pemenuhan hak bagi kelompok rentan yang terdampak bencana.

Adit Rahman Hakim, dari Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi Eksekutif Kota Bandar Lampung mengatakan bahwa mulai hari ini pemerintah memberikan kebebasan dan hak kepada perempuan, juga aksi hari ini bukan sekedar aksi perayaan dan momentum semata “Mungkin kalau perempuan hari ini diberikan kebebasannya, diberikan haknya kepada pemerintah, aksi ini tidak akan terjadi. Aksi ini hanya sekedar perayaan dan momentum semata,” katanya.

Pemerintah saat ini justru terus menggunakan hukum untuk memperkuat kekuasaannya, bersamaan dengan serangkaian kebijakan atau proyek yang merampas ruang hidup masyarakat dan memperparah krisis iklim. Perempuan pun tidak terlepas dari struktur kuasa patriarki yang mengeksploitasi sumber daya alam serta menghancurkan sumber penghidupan mereka, sehingga semakin menempatkan perempuan sebagai objek yang dimiskinkan.

Perampasan lahan produktif milik perempuan petani, perusakan lingkungan hidup, penggusuran tempat tinggal perempuan, banjir berulang akibat kurangnya ruang terbuka hijau, pembatasan wilayah tangkap bagi perempuan nelayan, hingga kekerasan yang dilakukan aparat militer bersama korporasi menjadi bentuk nyata ketidakadilan yang mereka alami.

Anita, salah satu anggota Study Club Perempuan, berharap agar pemerintah segera mengesahkan RUU Pekerja Rumah Tangga dan RUU Perampasan Aset Korupsi. Selain itu, ia juga menekankan pentingnya evaluasi program makan siang bergizi gratis, yang menurutnya masih belum berjalan secara efektif. “Tuntutan lain dari aliansi ini juga mencakup pendidikan dan kesehatan gratis, reforma agraria yang responsif gender, serta ratifikasi ILO 190 untuk memastikan lingkungan kerja yang aman dan bebas dari pelecehan,” ungkapnya.(*)

Penulis : Yunika Maritasari, Nando Atmajaya

Penyunting : Rizky

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Captcha loading...

3 + = 12