Monologsmara

Wanita SMA Yang Tertolak Cintanya | Perssukma.id/https://shorturl.at/lvEN1

Namanya Aditya.

Sudah berapa kali ya namanya aku ceritakan kepada kalian? Pertemuan yang tidak sengaja di SMA ternyata harus kukejar hingga ke Universitas. Waktu itu, pertemuan kami cukup singkat. Singkat sekali…tapi aku masih teringat.
***
Masuk SMA untuk pertama kalinya, sekolahku mengadakan apel perdana. Untuk menyambut kami, katanya. Aku berdiri di tengah keramaian orang – orang yang belum pernah ketemui sebelumnya. Rasanya asing sekali. Tapi, satu hal yang harus kalian tahu dari ceritaku adalah pertemuan kami. Saat itu, ia berjalan hampir telat memasuki lapangan. Aku melihatnya dibawah sinar matahari, ia berjalan sambil tersenyum konyol. Sinar matahari pagi membuat kulit terasa hangat tanpa sadar perasaanku juga ikut hanyut dalam senyuman itu. Senyuman yang bahkan bukan untukku.

Bacaan Lainnya

Aku mencuri pandang lagi, berusaha meyakinkan bahwa senyuman konyol tadi bukanlah hal yang harus aku pusingkan. Aku mencari wajah tadi. Dapat. Aku bertemu lagi dengan wajahnya, dia berada dibelakang kanan barisanku bersama tiga orang teman laki – lakinya. Ia tertawa (entah apa yang ia tertawakan bersama teman- temannya itu). Sepuluh detik kemudian, ia menatapku. Mata kami bertemu satu sama lain. Aku memalingkan wajah dan segera tersadar. Bahwa untuk pertama kalinya…

Aku jatuh cinta.


Kalau di ingat – ingat, yaa, hanya itu saja pertemuan kami. Tidak ada perkenalan, tidak ada saling menyapa, hanya bertatapan. Tapi tahu dampaknya dari pertemuan singkat itu? Perasaanku malah tumbuh seperti gulma liar dan terus berkembang seiring berjalannya waktu. Tapi mungkin itu juga salahku, perasaan ini terus bertumbuh tanpa dirawat, tapi aku terus membiarkan dan bahkan sesekali aku menyiramnya. Konyol, aku lah harusnya yang di sebut konyol.

Aku mencari tahu tentang dia di sela – sela tugas SMA-ku yang menggunung itu. Ternyata dia anak OSIS, ia aktif berorganisasi. Kalian tahu? Aku mengikuti organisasi yang sama hanya untuk bisa bertemu dia. Lucu memang. Pernah aku menemukan Instagram-nya tapi tidak berani aku follow. Malu…

Selang beberapa bulan, dia malah punya pacar.

Sedikit menyebalkan. Tidak, tidak, aku rasa ini bukan sebal. Tapi cemburu.

Kupikir dengan ia memiliki pacar, perasaanku akan lenyap begitu saja. Ternyata tidak. Justru saat berpapasan, gulma liar ini semakin bermekar padahal Empunya saja tidak sadar. Kadang aku bertemu dia dikantin atau dilorong kelas. Seringkali saat rapat organisasi, ia malah semakin menawan dimataku.
Perasaan ini terus ada walaupun tanpa interaksi antara kami.

Selang beberapa bulan lagi, ia putus dengan pacarnya. Kesempatan, pikirku.

Aku memberanikan diri mem-follow Instagram miliknya. Kami akhirnya berteman di sosial media tersebut. Hanya sampai situ saja. Tapi masalah lain datang. Beberapa temanku, mulai menyatakan perasaan kepadaku.

Hei. Kenapa jadi begini?

Aku menolak mereka semua dengan alasan aku belum mau memulai hubungan perasaan ini dengan siapapun. Padahal, hatiku ini terkunci dan hanya dia yang punya kuncinya.
Sampai akhirnya kelulusan SMA, kami belum memiliki interaksi yang pasti. Hanya sebatas itu saja. Tapi, aku penasaran, universitas mana yang ia pilih untuk melanjutkan pendidikannya. Setelah mencari tahu dan banner pengumuman dipasang di dinding gedung sekolah, aku tahu. Rencanaku setelahnya adalah mengikuti melanjutkan pendidikan di universitas yang sama.

Benar saja.

Kami berada di kampus yang sama.

Kami juga sering bertemu dan berpapasan sampai – sampai perasaanku tidak bisa kubendung. Seperti tanggul air yang pecah. Aku memberanikan diri untuk menyatakan perasaanku selama empat tahun ku pendam.

Ternyata, walaupun kita memiliki perasaan selama apapun, bukan berarti kita bisa memilikinya. Kalian tahu, apa jawabannya atas selama aku memendam perasaan ini? Jawabannya ada di kalimat setelahnya. Aku di tolak. Mentah – mentah. Katanya “Sebaiknya, kita jalan masing – masing saja,”
Ingin aku berteriak, selama inipun kita sudah berjalan masing – masing. Tidak logis. Aku mematung sesaat, sebelum mataku mengeluarkan bulir – bulir yang jatuh ke pipi dan tanah.

Ceritaku sudah habis, berakhir dengan tragis.

Aku sadari belakangan ini, perasaanku ternyata tidak hilang, masih ada dan terawat—hanya saja warnanya tidak secantik dulu. Hanya saja mekarnya tidak seindah dulu.

Aku melanjutkan hidupku dan terus melakukan fokusku. Beberapa teman kembali lagi sibuk menyatakan perasaannya kepadaku, aku menolak mereka dengan alas an yang aku gunakan beberapa tahun yang lalu. Padahal, hatiku ini diberi rantai dan mungkin hanya ia yang bias membukanya.
Sudahlah.

Biarkan semesta bekerja kembali untuk takdirnya. Mungkin, ini terakhir kalinya aku menceritakan ini kepada kalian. Karena apa? Karena cinta terlalu sempit untuk digantungkan kepada orang yang kamu temui di SMA.

Penulis : Hanysa Firdiandita

Penyunting : Juwita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

57 − 49 =