Rasanya, tak pernah sama.
Kira – kira seperti itulah rasanya saat aku menjalani kehidupan setelah kita asing. Setelah berbagi cerita apapun itu, mulai dari hal kecil yang kamu tanyakan, “Loh, belum tidur?” hinggal hal besar yang tidak pernah aku ceritakan kepada siapapun kecuali kamu.
Bagaimana, hidupmu?
Bagaimana bunda dan ayahmu, mereka baik – baik saja?
Kamu masih suka di tepi pantai itu sambil memutar lagu Kepada Noor dari Panji Sakti?
Aku harap hidupmu masih baik – baik saja. Karena, aku tidak. Sulit rasanya menerima kekosongan hari yang biasanya diisi oleh candaan garing darimu. Kadang aku juga masih cemburu kepada angin yang masih bisa membelai lembut halus rambutmu.
Kabarku baik, walaupun kamu tidak ingin tahu.
Masih seperti biasanya. Aku masih suka berlari di area taman yang punya kolam ikan besar itu. Aku juga mengunjungi toko buku beberapa kali seminggu, buku – buku itu terkadang mengingatkanku padamu.
Jam tidurmu bagaimana?
Aku berantakan. Manusia dianjurkan untuk tidur selama 8 jam sehari untuk tetap menjaga kesehatan otak dan tubuh. Aku tidak. Kadang sehari itu hanya 3 jam, bahkan tidak tidur. Rasanya sulit sekali. Belum lagi aku suka terbangun dan memastikan handphone-ku apakah ada pesan dari kamu muncul dilayar itu? Ingat tidak dulu rutinitas kita adalah kamu sering menyuruhku tidur, supaya besok aku tidak kesiangan berangkat kuliahnya. Pastinya sembari kamu temani.
Harusnya aku tidak pernah berharap ya. Membuka pintu dan menaruh harapan padamu seperti sengaja memukul tangan dengan palu. Membuka luka lama dan kembali menorehkan luka baru, tentunya ditempat yang sama.
Setelah berkabar dan ribuan pesan, ditengah malam itu tanpa balasan aku mendapatkan kesimpulan. Orang – orang bilang, hal ini disebut “Asing”. Makna kata yang sejujurnya aku tidak pernah kuharapkan darimu.
Aku kembali menuliskan cerita ini untukmu yang kedua kalinya, setelah melewati malam kesepian yang panjang dan beberapa kali tempat makan yang kubayangkan bisa untuk menghabiskan waktu bersama.
Biasanya dulu kuceritakan kepadamu ‘kan kegiatanku seharian bagaimana? Aku ceritakan disini. Aku menulis ini setelah kubilang padamu sepupuku ulang tahun. Kami merayakannya di kedai tempat makan bernuansa sederhana, bercat hijau gelap. Kamu tahu? disini ada menu yang aku sukai, teh rasa mint. Aneh tidak menurutmu? Awalnya juga aku merasa aneh, tapi setelah dicoba rasanya sangat unik sekali. Siapa yang terpikirkan ide mencampurkan teh ditambah daun mint?
Ah, mungkin ini juga berlaku buatku. Awalnya saja aku kesulitan untuk melanjutkan ceritaku tanpamu, iya ‘kan? Tapi agak sulit pastinya. Lihat bahkan setelah asing pun aku tetap berusaha ingin memberi tahumu bagaimana kehidupanku.
Mungkin tidak banyak yang kusampaikan kepadamu. Aku hanya kehilangan arah setelah sempat berpegangan erat kepada mata angin-ku. Kalau kamu tanya dimana aku, aku disini. Berada ditengah laut, hamparan yang luas. Berada dibibir pantai yang dingin tanpa sapaan yang hangat itu lagi. Kakiku masih menapak di pasir yang lembut seperti suaramu yang bisa membuatku tertidur. Terkadang aku masih berusaha untuk memandang, kuperhatikan sebatang tembakau itu masih sangat sering menempel di bibirmu. Tanpa jeda kamu hisap terus. Mungkin aku bisa menyampaikan pesanku disini untuk Kompas-ku. Berhenti menghisap batang tembakau itu, memang enak rasanya kalau ditemani kopi. Juga, jaga tidur malam-mu itu. Mari berdamai tanpa kabar juga tanpa temu, sudah saatnya kita pergi melanjutkan mimpi masing – masing, di langkah yang berdampingan tapi tidak sejalan.
penulis : Hanysa firdiandita
penyunting : dyanita