FKMPI Gelar Diskusi Terbuka, Tolak Ekspansi Industri di Lampung

Diskusi Terbuka yang di Hadiri Mahasiswa Dalam Rangka Tolak Ekspansi Industri di Lampung | Perssukma.id/Juan Aditio Kurniawan

Forum Komunikasi Mahasiswa Politeknik Se-Indonesia (FKMPI) menggelar diskusi terbuka bertema isu strategis lingkungan dengan tajuk “Ancaman Ekspansi Industri Ekstraktif di Provinsi Lampung”. Kegiatan ini dilaksanakan di Pojok Cafe Politeknik Negeri Lampung (Polinela) pada Kamis, 19 Juni 2025, dan dihadiri oleh berbagai Organisasi Mahasiswa (Ormawa) dari sejumlah kampus, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, serta komunitas literasi Lapak Baca.

Nicholas Saputra, Koordinator bidang Sosial Masyarakat (Sosma) FKMPI menyampaikan bahwa tujuan dari diskusi ini adalah untuk mengajak mahasiswa tidak hanya berfokus pada isu lingkungan berskala nasional, tetapi juga peduli pada permasalahan yang terjadi di daerah. “Tujuannya untuk mengajak kita semua, terutama kaum muda dan pelajar, agar tidak hanya fokus pada isu nasional seperti pertambangan di Raja Ampat, tapi juga peduli terhadap persoalan di daerah kita sendiri. Kita harus mencegah agar kerusakan serupa tidak terjadi terutama ancaman ekspansi industri ekstraktif di Lampung,” ujarnya.

Bacaan Lainnya

Industri ekstraktif merupakan sektor industri yang mengeksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) yang tidak dapat diperbarui, seperti hasil tambang dan hasil bumi. Di Lampung, ekspansi industri ini bukanlah hal baru, namun dalam beberapa tahun terakhir, intensitasnya meningkat terutama karena kebijakan nasional yang memberikan lebih banyak ruang bagi pertumbuhan sektor tersebut.

Prabowo Pamungkas, Kepala Divisi Advokasi LBH Bandar Lampung mengungkapkan bahwa ekspansi industri ekstraktif di Lampung telah menimbulkan berbagai konflik. “Dampaknya sangat luas, mulai dari konflik agraria hingga konflik sosial dan ekonomi. Kami di LBH mendampingi kasus konflik nelayan di Margasari dan Teladas yang berhadapan dengan perusahaan tambang pasir. Aktivitas pertambangan di wilayah tangkap nelayan sangat mengganggu ekosistem laut dan merusak ekonomi masyarakat pesisir,” ungkapnya.

Mustaqim, Staf adovaksi dan kampanye dari Walhi Lampung mengemukakan hal serupa berdasarkan pantauan organisasinya selama setahun terakhir. “Kami mencatat banyak ekspansi industri ekstraktif, terutama dalam bentuk perkebunan skala besar seperti tebu dan sawit. Ini telah memicu berbagai konflik sosial, konflik agraria, dan pencemaran lingkungan seperti polusi udara dan pencemaran limbah,” ujarnya.

Ia juga menambahkan contoh nyata praktik industri ekstraktif yang ditemukan di Lampung. “Contohnya adalah pembakaran tebu untuk panen, yang menyebabkan polusi udara dan mempercepat perubahan iklim. Selain itu, kami juga menemukan limbah industri di Teluk Lampung dan pesisir timur, yang diduga berasal dari perusahaan besar seperti PT. Pertamina. Sampai saat ini, belum ada kejelasan dari pemerintah mengenai pelaku pencemaran tersebut,” tambahnya.

Kehadiran industri ekstraktif di nilai membawa dampak serius di tingkat masyarakat akar rumput. Tak hanya merampas ruang hidup, praktik ini menunjukkan pola eksploitasi yang mengabaikan keberlanjutan lingkungan. Pembakaran tebu sebelum panen dan pembuangan limbah industri secara sembarangan menjadi contoh nyata kurangnya tanggung jawab ekologis dari pelaku industri. Jika dibiarkan tanpa pengawasan ketat, masyarakat lokal akan terus menjadi pihak yang paling terdampak, baik dari sisi kesehatan, ekonomi, maupun kerusakan lingkungan.

Joko, Mahasiswa Program Studi (Prodi) Teknologi Produksi Tanaman Hortikultura (TPTH) Polinela menyatakan ketertarikannya mengikuti diskusi karena isu yang diangkat sangat berkaitan dengan kehidupannya. “Karena isu ini berkaitan langsung dengan industri dan keberlangsungan lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan saya. Lingkungan sendiri memegang peran penting, jadi saya merasa perlu menjaga eksistensinya, terutama dalam konteks industri. Saya jadi tahu bahwa dampak industri ekstraktif itu sangat luas dan destruktif. Di daerah saya, Lampung Utara, yang relevan adalah industri pertanian singkong. Meski sebagian masih organik, tetap saja berpotensi berdampak pada lingkungan,” jelasnya.

Prabowo berharap mahasiswa dapat meningkatkan kesadaran dan memperjuangkan hak atas lingkungan yang sehat. “Saya berharap teman-teman mahasiswa, khususnya dari Polinela, bisa mendorong kesadaran akan pentingnya melindungi lingkungan. Melindungi lingkungan bisa dimulai dengan memahami hak dasar sebagai warga negara. Ketika kita menyadari bahwa kita berhak atas lingkungan yang sehat, maka kita harus memperjuangkannya melalui keberpihakan terhadap korban-korban perampasan ruang hidup” tutupnya. (*)

Penulis : Ahmad Khoirudin, Juan Aditio Kurniawan

Penyunting : Refiah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Captcha loading...

12 ÷ 3 =